Jumat, 15 Desember 2017

HISTORIOGRAFI MODERN HUSAIN DJAJADININGRAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah dengan cermat dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya dengan tepat
Historiografi Indonesia modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957, ketika itu kementrian pendidikan mengadakan Sejarah Seminar Nasional yang pertama di Yogyakarta.[1]Semenjak itu penulisan sejarah Indonesia mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesiasendiri. Sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan Indonesia-sentris yang mulai beranjak. Tentu saja hal ini sangat berpengaruhbagi perkembangan sejarah itu sendiri. Berbagai peristiwa yang terjadidi Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikiantentu saja objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yangmenulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebutterjadi atau setidaknya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Hoessein Djajadiningrat ?
2.      Apa Saja Karya-Karya Hoessein Djajadiningrat ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Husein Djojodiningrat
Prof. Dr. Husein Jayadiningrat (ejaan lama: Hoessein Djajadiningrat), (lahir di Kramatwatu, Serang, 8 Desember). Lahir dari pasangan R. Bagus Jayawinata (R. Bagoes Djajawinata), wedana yang kemudian menjadi bupati Serang yang berpikiran maju, dan Ratu Salehah yang berasal Cipete Serang. Husein merupakan penanggungjawab surat kabar bulanan berbahsaa Sunda Sekar Roekoen yang diterbitkan oleh Perkoempoelan Sekar Roekoen.[2]Husein merupakan salah satu pelopor tradisi keilmuan di Indonesia. Ketika masih remaja, ia dikenal sebagai pemuda yang pintar dan berbakat, baik dalam ilmu agama, maupun ilmu barat. Melihat bakat dan potensi yang dimiliki Husein, Snouck Hurgronje menyekolahkan Husein ke Universitas Kerajaan Leiden.[3] Sebelum menyelesaikan sekolah lanjutanya, HBS di Batavia (Jakarta), Snouck Hurgronje telah mengajarinya bahasa Yunani dan Latin, dan ketika berusia 18 tahun, 1904 ia diberangkatkan ke Negeri Belanda dan masuk ke sekolah Gymnasium di Leiden. Tahun 1905, ia memasuki Universitas Laiden, jurusan Bahasa dan Sastra Nusantara.
Selama belajar disana, selain tidak tertinggal oleh kemampuan para mahasiswa Eropa, ia pun berhasil menujukkan prestasinya. Bahkan pada 1910, Hoesein berhasil memenangkan sayembara tentang “Aneka data karya Melayu mengenai Kesultanan Aceh”. Tiga tahun kemudian, 3 Mei 1913, Hoesein berhasil mempertahankan disertasi Doktornya, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten : Bidjrage ter ken schetsing van de Javaansche Geschiedschrijving ( Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten : Sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa), dengan predikat cumlaude. Disertasinya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan di terbitkan oleh penerbit Djambatan pada tahun 1983.
      Setelah menyelesaikan studinya, ia langsung kembali ke Indonesia. Bulan berikutnya, 21 juni 1913, ia bekerja sebagai peneliti bahasa-bahasa Nusantara di Kantor voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Pribumi) sampai tahun 1918.Pada tahun 1919 Husein menjadi pembina surat kabar bulanan Sekar Roekoen yang berbahsa Sunda yang diterbitkan oleh Perkoempoelan Sekar Roekoen. Selain itu ia pun menerbitkan Pusaka Sunda, majalah berbahasa Sunda yang membahas tentang kebudayaan Sunda. Pada tahun yang sama ia juga mendirikan Java Instituut dan sejak tahun 1921 menjadi redaktur majalah Djawa yang diterbitkan oleh lembaga tersebut bersama sama dengan Raden Ngabehi Purbacaraka (Poerbatjaraka).
Tahun 1924 ia diangkat diangkat menjadi gurubesar di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam, bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda. Tahun 1935 dan 1941 diangkat menjadi anggota Dewan Hindia. Bertahun-tahun pernah menjadi konservator naskah (manuskrip) di Bataviaasch Genootschap can Kunsten en Wetenschappen (Perkmpulan Masyarakat Pencinta Seni dan Ilmu Pengetahuan). Pada mulanya sebagai anggota diréksi, kemuadian dari tahun 1936 menjadi ketuanya.
Tahun 1940 ia menjabat sebagai Direktur Pengajaran Agama. Pada jaman Jepang menjadi Kepala Departemen Urusan Agama. Tahun 1948 diangkat menjadi Mentri Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan pada masa pemerintahan presiden Sukarno. Tahun 1952 menjadi gurubesar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1957 menjadi pemimpin umum Lembaga Bahasa dan Budaya (LBB), merangkap sebagai anggota Komisi Istilah di lembaga tersebut. Pada tahun 1963 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islam Jalan Mutlak, Husein Jayadiningrat wafat pada 12 November 1960 (1379 H).[4]


B.     Karya Hoesein Djajadiningrat
Dalam buku Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Pendekatan yang digunakan oleh Hoesein Djajadinigrat adalah dengan cara menganalisa ciri- ciri penulisan sejarah Jawa. Dimana dalam naskah sejarah Banten terdapat tiga redaksi kroni yaitu : yang tertua dari tahun 1662/1663, yang selanjutnya cerita sejarah itu dirangkai ke dalam kerangka suatu cerita, sedangkan tentang pendahuluan dibicarakan secara panjang lebar.[5] Contohnya adalah Babad Kediri.                                                                                                                   Cerita sejarah di bagi menjadi dua bagian yaitu:                                                 1. Menguraikan tradisi- tradisi yang longgar tentang zaman yang lebih tua        di seluruh Jawa.                                                                                                          2. Membicarakan tentang peristiwa- peristiwa di Banten sejak masuknya   agama Islam hingga zamannya penulis kronik itu, dimana yang pertama jauh lebih ringkas daripada yang kedua.
Kronik – kronik Jawa merupakan pembendaharaan dari dongeng- dongeng Bumi Putra tidak asli melainkan kembali pada prototip Hindu dan ada unsur- unsur yang berasal dari Hindu. Contohnya dalam dongeng Sunan Giri. Ciri- ciri pokok dongengnya adalah: Bayi itu dikatakan sebagai bencana. Oleh karena itu bayi dibuang ke laut dalam sebuah peti, peti tersebut diselubungi cahaya yang penuh rahasia, hal itu bertujuan untuk menarik perhatian orang agar mau mengangkat bayi itu dari dalam laut dan suatu mukjizat untuk kepentingan bayi itu keluar air susu dari buahdada seorang wanita.[6]
Salah satu karyanya adalah “ Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten”. Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam diubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.
Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi oleh Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram.Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Bante karena bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian (cum laude).
Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596.
Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta) tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629 menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.
Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit. Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda R.A. Kern mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat.
Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.
Selain buku Tinjauan Krtis Tentang Sejarah Banten masih ada karya-karya lain yang ditulis oleh Husein Joyodiningrat diantara karya-karya tersebut antara lain yaitu sebagai berikut:
1. Mohammedaansche wet en het geerstelsen der Indonesische Mohammedanen ( pidato ilmiah di Sekolah Tinggi Hukum, 1925).
2. De Magische achtergrond van de Maleische pantoen ( pidato ilmiah dina raraga mieling tepung taun STH ka-9, 1933).
3. De naam can den eerste Mohhedaanschen vorst in west java (1933).
4. Apa Artinya Islam (pidato ilmiah teoung taun UI ka-4).
5. Hari lahirnya Djajakarta (1956).
6. Konttekeninggen bij “ het Javaanse Rijk Tjerbon un de eerste eeuwen van zijn bestaan (1957).
7. Islam in Indonesia (Dina Kenneth D. Morgan , Islam the straight Path, 1956).
8. Pengaruh Islam di Iran dina Islam di Indonesia ( Dina Ivan Noris , 1959).
9. Local Tradition and the Study of Indonesian History (Dina Soedjatmoko, dkk., An Introduction to Indonesian Historiography, 1965).
    Pada waktu mempertahankan disertasinya itu usia beliau baru menginjak 27 tahun. Dalam studinya Husein Djajadiningrat mengkaji 10 naskah yang ditulis dengan menggunakan tiga jenis aksara (Pegon, Jawa, dan Latin) dan bahasa Jawa, serta berasal dari koleksi Prof. Snouck Hurgronje (4 naskah), koleksi Dr. D.A. Rinkes (1 naskah), Bijbel Genootschap (1 naskah), koleksi Brandes (2 naskah), koleksi Warner (1 naskah).[7]




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:                                                                                                              Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu seperti historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Dimana makalah ini membahas mengenai tokoh Historiografi Modern Indonesia yaitu Hoesein Djajadiningrat yang merupakan salah satu pelopor tradisi keilmuan di Indonesia juga dikenal sebagai pemuda yang pintar dan berbakat, baik dalam ilmu agama, maupun ilmu barat.
Husein telah membuka jalan bagi penelitian tentang historiografi Indonesia sehingga ia pun dikenal pula sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”. Dialah orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor dan guru besar pribumi yang pertama di Indonesia. Adapun dalam menulis karyanya ia menggunakan pendekatan dengan cara menganalisa ciri- ciri penulisan sejarah Jawa, yang mana dalam naskah sejarah Banten terdapat tiga redaksi kronik. Salah satu karyanya yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten ( Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten).









DAFTAR PUSTAKA
Djambatan, 1983.,Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994),                                                                          Harun Nasution, 1992.Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan. Hoesein djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, 1983 Jakarta: Korver, A.P.E. Serikat Islam: Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti Pers,. 1985, http://id.wikipedia.org/wiki/Hussein Jayadiningrat/ diakses 25 November 2013.













[1] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994), hlm. 1.
[3] Korver, A.P.E. Serikat Islam: Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti Pers,. 1985, hal. 251.
      [4]Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 337- 340.
[5]Hoesein djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. ( Jakarta: Djambatan, 1983)., hlm. 318.
[6]Ibid., hlm. 326.
[7]Ibid,.hal.4

Kamis, 14 Desember 2017

Pemikiran Sejarah Dan Teori Sosial



Pemikiran Sejarah Dan Teori Sosial Karl Marx dan Marx Weber
Oleh: Nurul Fatimah

Pendahuluan
            Ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu sosial, karena sejarah merupakan sebuah disiplin ilmu maka perlu adanya konsep-konsep beserta teori-teori yang nantinya dapat digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian sejarah. Oleh sebab itu dalam mempelajari ilmu sejarah sangat perlu mengetahui teori-teori sosial yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh ilmu sosial. Terdapat banyak tokoh yang memunculkan berbagai konsep dan teori yang harus diketahui seperti William Frederick Hegel, Karl Marx, Marx Weber, Emile Durkeim, Sigmund Frued dll. Untuk itu dalam makalah ini penulis berusaha menganalisis dan membadingkan pemikiran sejarah dan teori sosial dari tokoh-tokoh tersebut, khususnya Karl Marx dan Marx Weber. Marx dan Weber adalah kedua tokoh yang hidup pada kondisi masa yang tidak sama, Marx hidup ketika masa dimana kajian sejarah belum mapan, sebaliknya Weber hidup pada masa kajian sejarah mencapai kematangan. Kondisi semacam itu tentunya berpengaruh pada pemikiran mereka, yang menyebabkan perbedaan perspektif pemikiran yang ada.
A.  Biografi Karl  Marx
Karl Marx dilahirkan di Trier pada 5 Mei 1818, Marx adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Heinrich Marx seirang pengacara Yahudi yang tinggal kota kecil RhinelandTrier.[1] Kedua orang tuanya bersal dari keluarga rabbi (pendeta Yahudi) Akantetapi karena alasan-alasan bisnis maka berpindah agama Kristen Lutheranisme ketika itu Karl Marx masih sangt muda.[2] Meskipun Marx berasal dari keluarga yang taat bergama tetapi ia sendiri tidak begitu tertarik pada agama. Semasa mudanya ia banyak di pengaruhi oleh seorang angsawan Prusia bernama Von Wesphslen (mertuanya) untuk mempelajari karya-karya penulis Jerman, seperti Goethe dan Schiller, termasuk juga mempelajari ajarn filsuf-filsuf besar Yunani. Latar belakang intelektual tersebut yang mngantarkan Karl Marx dalam mempelajari filsafat idealisme-nya Hegel serta ajaran ekonomi politik Inggris Adam Smith.[3]
Pada tahun 1841Marx menyelesaikan gelar doktornya di bidang filsafat dari Universitas Berlin. Disertasi Marx adalah suatu risalah filsafat yang kering, tetapi benar-benar mengantisipasi banyak idenya dikemudian hari. Setelah lulus ia bekerja sebagai seorang penulis di sebuah surat kabar yang liberal-radikal, dalam jangka waktu sepuluh bulan Marx sudah bisa menjadi kepala editor. Tetapi karena pemikiran kritis dan pendiriannya politisnya, akhirnya surat kabar tersebut ditutup oleh pemerintah. Esai-esai awal yang diterbitkan mulai mencerminkan sejumlah pendirian yang nantinya dapat menuntun Marx disepanjang hidupnya. Pendirian Karl Marx dibubuhi dengan prinsip demokratis, humanisme, dan idealisme anak muda. Marx menolak keabstrakan filsafat Hegelian, mimpi yang anif para komunis utopian, dan menolak para aktivis yang sedang mendesakan hal yang oleh Marx dianggap sebagai tindakan politis prematur.[4]
 Selama Marx tinggal di Paris ia mulai mengembangkan teori-teorinya sendiri. Selama tujuh tahun 1843-1850 Marx sudah menghasilkan banyak tulisan. Diantaranya; On the Jewish Question (1843), Toward the Critique of Hegels Philoshopy of Right: Introduction (1843), Economic and Philosophic Manuscripts (1844), The Holy Family: Or a Critique of All Critiques dll. Dalam tulisan-tulisan tersebut Karl Marx memformulasikan pandangan materialismenya tentang manusia dan tujuan hidup manusia. Marx juga mengemukakan ide-ide kuncinya tentang sejarah dan masyarakat, ekonomi dan politik, hukum, moral, filsafat, dan agama. Pemikiran yang dihasilkan oleh Marx tidak sepenuhnya murni hasil pemikirannya melainkan Marx juga berkolaborasi dan bertukar pikiran dengan sahabatnya Friedrich Engels, putra seorang pengusaha Jerman. Mereka menulis buku yang berjudul Communist Manifesto (1848). Akibat ide-idenya tersebut Karl Marx harus hidup berpindah-pindah karena menjadi buronan pemerintah karena dianggap sebagai penyebab terjadinya revolusi. Ia melarikan diri dari Prancis ke Brusel tapi ia tertangkap dan dibuang ke Belgia, selepas itu ia kembali ke Jerman untuk mengambil bagian dalam revolusi yang terjadi, akhirnya dia di tangkap namun dapat lolos. Karl Marx dan keluarganya hidup dalam kemiskinan, sehingga ia harus bekerja keras untuk menyambung hidup.  Dalam masa-masa itu Marx menulis dua karyanya tentang ekonomi dan politikdan beberapa karya lainnya tentang sejarah dan teori ekonomi, karya yang paling penting dalam masa ini adalah Das Kapitalis (1867). Meskipun Marx banyak menghasilkan karya-karya yang fenomenal namun hal itu tidak bisa mengeluarkannya dari kemiskinan, untuk menyambung hidupnya dan keluarganya ia mengandalkan batuan-bantuan dari sahabatnya Engles. Istri Marx meninggal tahun 1881 dan dua tahun kemudian Marx menyusulnya.[5]
B.  Pemikiran Sejarah dan Teori Sosial Karl Marx
Dalam ranah ilmu sejarah Karl Marx menggabungkan teori Hegel mengenai pergantian pola-pola budaya dengan perjuangan untuk eksistensi. Hasilnya adalah keterangan mengenai perubahan didalam sejarah yang dikatakannya ditentukan secara materialistis, penguasaan terhadap cara produksi akan menentukan kelas mana dan sesuai dengan itu, pola pikiran mana yang akan berdominasi pada suatu saat tertentu, dan pertarungan terus-menerus antar kelas pada akhirnya akan menghasilakan kemenangan pihak proleatariat.[6] Marx juga menerima sentralitas kontradiksi bagi perubahan historis. “kontradiksi-kontradiksi kapitalisme” dan “kontradiksi-kontradiksi kelas.” Akan tetapi, tidak seperti Hegel, Marx tidak percaya bahwa kontradiksi-kontradiksi tersebut dapat bekerja di dalam pengertian kita, yakni di dalam pikiran kita. Sebagai gantinya bagi Marx hal-hal itu adalah kontradiksi-kontradiksi nyata yang sedang ada. Bagi Marx kontradiksisemacam itu tidak di pecahkan oleh filsuf yang sedang duduk di kursi malas, tetapi dengan berjuang mati-matian mengubah dunia sosial.[7] Fokus Marx pada kontradiksi-kontradiksi nyata yang sedang ada menghasilkan suatu metode khusus untuk mempelajari fenomena sosial yang kemudian juga disebut “dialektis”.[8]
Pandangan dialektis tentang hubungan antara masa kini dan masa depan tidak menyiratkan bahwa masa depat ditentukan oleh masa kini. Tarence Ball melukiskan Marx sebagai “orang yang meyakini kemungkinan politis” dari pada “orang yang meyakini ketidakterelakkan historis”. Karena fenomena sosial terus-menerus bertindak dan bereaksi, dunia sosial menentang model deterministik yang sederhana. Masa depan dapat didasarkan kepada beberapa model kontemporer, namun bukan dengan cara yang takterelakkan. Studi-studi historis Marx,  menunjukkan bahwa membuat pilihan-pilihan, tetapi pilihan-pilihan itu terbatas. Seperti contoh, Marx percaya bahwa masyarakat terlibat didalam sebuah perjuangan kelas dan bahwa rakyat dapat memilih untuk turut serta baik di dalam “Rekonstitusi revolusioner masyarakat secra luas, atau didalam keruntuhan umum kelas yang sedang berseteru”.Marx berharap dan percaya bahwa masa depan ditemukan di dalam komunis, tetapi dia tidak percaya bahwa komunisme akan terwujud bila pekerja hanya menunggu dengan pasif.Komunisme akan datang hanya melalui pilihan dan perjuangan para pekerja.[9]    
Karl Makx mengatakan bahwa sejarah masyarakat dimanapun  adalah sejarah pertentangan kelas (Merdeka dengan budak, majikan dengan babu,  penindas dengan tertindas), posisi yang saling berhadap hadapan akan menimbulkan perang terbuka, untuk merekonstruksi masyarakat pada “umumnya” dan “khusunya” agar dapat menghancurkan kelas penguasa. Jadi pesan yang disampaikan oleh Makx tersebut bahwa semenjak manusia pertama kali dilahirkan dipermukaan bumi, mereka tidak dimotivasi oleh ide-ide besar, namun lebih dikendalikan oleh kebutuhan materi yakni kebutuhan yang membuat mereka bertahan hidup. Fakta ini adalah yang dipakai orang-orang materialis  dalam melihat sejarah.[10]     
Selain pemikiran di bidang sejarah berikut adalah beberapa teori sosial yang dikemukakan oleh Karl Marx:     
1.    Kapitalisme
Menurut Marx kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya produktif vital, yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Marx menyebut individu ini sebagai kaum borjuis. Kaum borjuis mempekerjakan sejumlah orang yang disebutnya dengan kaum ploretar. Golongan ploretar menghasilkan barang yang nantinya akan dijual oleh kaum borjuis di pasar untuk meraih keuntungan. Keuntungan kaum borjuis memperoleh keuntungan karena membayar buruh dengan kurang dari nilai murni barang-barang yang dihasilkan. Dari sini Marx berkeyakinan bahwa keuntungan yang diperoleh kaum kapitalis tidak hanya dari hasil penjualan barang, tetapi juga keuntungan itu bersal dari proses produksi yang dilakukan oleh kaum ploretar. Dalam pandangan Marx kapitalisme menuntut adanya satu kelas pekerja yang menjual tenaga untuk mendapatkan upah. Melalui eksploitasi tenaga buruhlah kaum kapitalis dapat meraih keuntungan.[11] Menurut Marx, kapitalisme melalui konsep kepemilikan pribadi, manusia menjadi berebut memiliki alam sebagai sumber kehidupan sebanyak-banyaknya. Antara yang satu dan yang lainnya bersaing untuk memperbanyak milik pribadinya. Karena jika memiliki lebih banyak maka merekalah yang lebih berkuasa, dan melalui kuasa dapat memiliki lebih banyak lagi. Kekuasaan yang disini mencakup kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan politis.
Kepemilikan pribadi mampu membuat seseorang menjadi serakah. Untuk itu Marx menawarkan ide supaya sistem kepemilikan pribadi dihapuskan, supaya antara manusia satu dan lainnya tidak saling terasing, sehingga nantinya dapat tercipta hakikat manusia yang sosialis dapat terbangkitkan kembali. Dengan demikian menurut Marx, dengan cara merubah sistem kapitalis sama halnya dengan mengubah manusia yang individulistik menjadi manusia yang sosialis.[12]       
2.    Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial muncul sebagai akibat dari persaingan yang terus-menerus antar individu ataupun kelompok untuk memperoleh akses teradap sumber daya yang terbatas, yang terpenting diantaranya adalah kekayaan ekonomis, dalam proses produksi, yakni persaingan untuk menguasai modal. Posisi superior pemilik modal membuat seseorang dapat menguasai sesamanya. Dan hak istimewa serta kekuasaan yang superior akhirnya melahirkan prestise superior. Kelompok dominan umumnya mengembangkan ideologi yang dapat melegitimasi kekuasaan dan hak istimewanya, tampak terhormat dan benar.[13] Para borjuis menerima pendapatan dengan cara mengeksploitasi para pekerja, dengan memberi upah serendah mungkin. Sedangkan para proletariat menerima pendapatan dalam bentuk upah yang dibayarkan oleh kapitalis. Dapat disimpulkan pula bahwa stratifikasi sosial menurut Karl Marx, lebih menekankan pada kepemilikan kekayaan pribadi sebagai kunci penentu strutur stratifikasi. Sumbu utama dalam stratifikasi dalam masyarakat kapitalis adalah persaingan antara para borjuis dan ploretariat. Individu mendapatkan hak istimewa dan prestise sesuai dengan tingkat pemilkikan kekayaan pribadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Karl Marx, sangat mendukung akan hancurnya kaum kapitalis. Determinisme ekonomi membawa masyarakat untuk menyaksikan kemunduran dan bahkan hancurnya kapitalis. Namun demikian menurut Marx, sistem kapitalis merupakan pra syarat untuk mencapai  masyarakat yang komunis. [14]
3.    Negara Demokrasi
Negara demokrasi adalah negara kapitalis. Negara dikontrol oleh logika ekonomi ekonomi kapitalis yang mendektekan bahwa kebanyakan keputusan politik harus menguntungkan kepentingan kapitalis.  Negara dapat mempunyai suatu “otonomi relatif” tetapi fungsi-fungsinya adalah untuk kepentingan kapitalis dalam jangka panjang. Fungsi-fungsi yang paling penting yang dijalankan oleh negara untuk kelas kapitalis adalah penindasan atas pengingkaran yang membahayakan sistem, legitimasi ideologis sistem kapitalis, dan membantu secara langsung dan tidak langsung di dalam akumulasi modal.[15]      
C.  Biografi Marx Weber
Max Weber dilahirkan pada 21 April 1864 di Erfurat, Thurigia, Jerman Timur.[16] Ayahnya bernama Marx Weber, Sr., yaitu seorang ahli hukum yang cakap dan penasehat kotapraja, berasal dari keluarga pedagang linen dan produsen tekstil di Jerman Barat. Sedangkan ibunya yaitu Helena Falenstein Weber, adalah seorang wanita Protestan terpelajar dan liberal.[17] Pada tahun 1893, Marianne Schnitger. Kehidupan Marx weber tergolong sangat aktif, namun ia juga mengalami konflik yang hebat. Ayahnya tergolong orang yang bersifat otoriter, sehingga sulit untuk berkompromi dengan Marx Weber. Sikap ayahnya tersebut menyebabkan Marx Weber dan keluarganya sangat menderita, sehingga pada tahun 1897 ayahnya diusir oleh Marx Weber. Beberapa minggu kemudian ayahnya meninggal kondisi tersebut membuat Marx Weber mengalami krisis batin, karena ia belum melakukan perdamaian dengan ayahnya. Sebagai akibat karena tekanan jiwanya, ia berhenti mengajar selama 18 tahun, selama berhenti mengajar ia melakukan riset dan menerbitkan banyak buku. Marx weber menaruh perhatian besar terhadap politik, dan ingin memberikan sumbangan praktis kepada kehidupan politik di negerinya.
Marx Weber termasuk orang yang suka bekerja keras, tidak mudah putus asa, tidak mudah untuk berkompromi dab suka berterus terang. Sifat-sifatnya yang demikian mengakibatkat bentrokan dalam hal politik. Kediamannya di Heidelberg menjadi pusat bagi elit intelektual seperti; Troeltsch, Michels, Simmel, Tonnies, Windelband dan Bloch, berkumpul secara rutin di kediaman Weber. Pada tahun 1920 saat usianya 56 tahun, ia meninggal karena penyakit paru-paru, padahal saat itu ajrannya tentang pendidikan politik mulai berkembang.[18]  
  
D.  Pemikiran Sejarah dan Teori Sosial Marx Weber  
Sumbangan Weber dalam ilmu sejarah yaitu ketika Weber lebih banyak bergerak dalam bidang sosiologi, ia berusaha memperjelas hubungan antara sosiologi dengan bidang sejarah sejarah yang sudah mapan. Weber merasa bahwa masing-masing bidang saling membutuhkan, Weber berpendapat bahwa sosiologi mempunyai tugas untuk memberikan “layanan” yang dibutuhkan oleh sejarah. Weber memberikan penjelasan perbedaan antara sosiologi dan sejarah. Sosiologi berusaha menjelaskan konsep-konsep tipe dan keseragaman-keseragaman proses empiris yang digeneralisasikan. Sedangkan sejarah lebih diorientasikan kepada analisis kausal dan penjelasan atas tindakan-tindakan individu, struktur-struktur, dan kepribadian-kepribadian yang memiliki signifikansi budaya. Weber disebut sebagai sosiologi historis, karena Weber mendefinisikan prosedur ideal sebagai “pengaitan pasti kejadian-kejadian konkrit individual yang terjadi di dalam realitas historis kepada kasus-kasus tertentu yang konkret secara historis melalui pengkajian secara seksama data empiris yang telah diseleksi dari sudut-sudut pandang yang spesifik”. Marx weber dalam metodologi ilmu sosial ideal type (tipe yang abstrak) dalam mempermudah penelitian, yang berguna bagi sejarawan. Akan tetapi ketika dihadapkan pada kenyataan historis yang faktual, pada kenyataannya tipe ideal itu banyak banyak yang tidak mempunyai dasar faktual. Seperti dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul The protestant Ethic and The Spirit Of Capitalism, Weber menyatakan bahwa timbulnya kapitalisme yaitu karena semangat Protestanisme yang memperkenalkan orang untuk menimbun harta, tidak untuk dinikmati tetapi untuk mengabdi kepada Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa orang yang mulia dalam agama Protestan adalah orang yang banyak menanam modal usaha. Dalam karya lain Weber banyak dikritik oleh para sejarawan karena Weber tidak peka terhadap periodesasi sejarah, buku yang berjudul The Religion of Cina; dalam buku itu Weber membuat kesimpulan-kesimpulan umum tentang Cina dengan menghubungkan fakta-fakta dari periode yang berbeda.[19]   
Pemikiran sosiologi Weber terbentuk karena serangkaian perdebatan intelektual di Jerman pada masanya. Isu yang paling penting dalam perdebatan itu adalah hubungan antara sejarah dan ilmu. Terdapat dua kubu yang saling bertentangan mengenai isu tersebut; 1) kaum positivistik, menganggap sejarah terdiri dari hukum-hukum umum (nomotetik) dan sejarah dapat menjadi seperti ilmu alam, 2) kaum subjektivis, yang mereduksi sejarah menjadi tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa idiosinkratik (ideografik) dan menganggap sejarah dan ilmu sebagai sesuatu yang berbeda secara radikal. Akan tetapi Weber menolak kedua pandangan tersebut. Weber berpendapat, sejarah terdiri dari peristiwa-peristiwa empiris yang unik, tidak boleh ada generalisasi-generalisasi pada level empiris. Oleh sebab itu para sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari semesta konseptual yang mereka bangun. Konsep-konsep tidak pernah dapat menangkap sepenuhnya dunia empiris, tetapi dapat digunakan sebagai peranti heuristik untuk memperoleh pengertian yang lebih baik atas realitas.[20]
Verstehen adalah salah satu sumbangan Weber terhadap ilmu sejarah. Pemikiran-pemikiran Weber mengenai Verstehen relatif lazim di kalangan sejarawan Jerman pada masanya dan berasal dari suatu bidang yang dikenal sebagai Hermeneutika (suatu pendekatan khusus untuk pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang diterbitkan). Tujuannya adalah untuk memahami sang pengarang dan juga struktur dasar teksnya. Weber berusaha memperluas ide itu dari pengertian atas teks ke pengertian atas kehidupan sosial.[21]     
 Selain pemikiran di bidang sejarah berikut adalah beberapa teori sosial yang dikemukakan oleh Marx Weber:
1.  Kapitalisme
Pemikiran Weber mengenai kapitalisme tidak jauh beda dengan pemikiran Karl Marx, khususnya dalam melihat ciri-ciri yang menjadi tanda kapitalisme modern. Dalam menyusun teori-teorinya Weber banyak menggunakan konsep seperti halnya konsep yang ditawarkan oleh Karl Marx, seperti konsep kelas, kesadaran kelas, konflik kelas, kepentingan kelang dll. Akan tetapi jika dilihat secara umum atau keseluruhan tesis-tesis yang dikemukakan oleh Weber tentang kapitalisme sangat berbeda dengan Marx. Pemikiran Weber mengenai kapitalisme tertulis dalam karyanya yang berjudul Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), poin penting yang ia sebutkan dalam karyanya tersebut tentang kapitalisme yaitu bahwa kapitalisme merupakan bukan produk dari faktor ekonomi tapi juga dipengaruhi oleh faktor diluar ekonomi, atau faktor internal yang mempengaruhi terbetuknya kapitalisme. Faktor diluar ekonomi atau faktor eksternal yang dimaksudkan oleh Weber adalah jenis atau karakteristik pemahaman masyarakat tentang agama. Karena di Barat merupakan mayoritas beragama Kristen maka yang jadi objek kajian adalah agama tersebut, khususnya Kristen protestan Calvinis. Dalam ajaran Calvinis menurut Weber, memiliki etika yang tidak miliki oleh agama lain, yakni dapat mendorong tumbuhnya kapitalisme.[22]
            Weber memandang bahwa manusia adalah sebagai pekerja tidak peduli pekerjaannya sebagai apa, inilah yang ia sebut sebagai vacational ethics yang merupakan tingkah laku yang emenonjol dari spirit kapitalisme. Mereka yang miskin mempunyai Vacational ethics nya akan mengalami keruntuhan, sementara mereka yang berhasil mempertahankan Vacational ethics dengan baik maka akan berhasil meningkatkan taraf dan prestasi hidupnya. Menurut Weber Kapitalisme adalah tipe ideal sistem ekonomi modern. Sedangkan kemunculan kapitalisme berasal dari agama protestan. Spirit kapitalisme modern yaitu Protestanisme yakni peraturan-peraturan agama tentang watak dan perilaku penganutnya dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini Weber berpendapat bahwa, semangat Protestan di dalam etika praktis sehari-hari merupakan semangat kapitalisme modern. Dalam doktrin Protestan mengajarkan bahwa bekerja keras merupakan panggilan suci bagi kehidupan manusia. Berlakuhemat dengan hasil kerjanya tidak digunakan untuk bersenang-senang maupun untuk upacara-upacara keagamaan.[23]


2.    Stratifikasi Sosial
        Dalam melihat stratifikasi sosial Weber tidak hanya melihat dari sisi faktor ekonomi saja seperti halnya yang dilakukan oleh Karl Marx. Weber menggunakan tiga kategori dalam membuat pemilihan masyrakat. Weber menggunakan istilah kelas, status dan Party. Konsep kelas menurut Weber yaitu golongan orang-orang dalam kontinum status dan situasi yang sama, yaitu kesempatan untuk memperoleh barang dan untuk dapat menentukan sendiri keadaan kehidupan eksteren dan nasib pribadi. Kelas-kelas sosial mencakup semua situasi kelas, yang dalam hal ini, mobilitas pribadi maupun mobilitas antargenerasi dimungkinkan terjadi. Weber juga menggunakan pengertian kelas Pluralistik. Dalam hal ini ia berbicara tentang “situasi golongan status” yaitu diberikannya hak istimewa positif atau negatif dalam hubungan dengnn martabat ssial, yang dituntut secara efektif atas dasar gaya hidup spesifik, pendidikan formal atau prestise yang dihubungkan dengan keturunan atau jabatan. Sedangkan Suatu golongan status yaitu sejumlah manusia yang, dalam suatu organisasi secara efektif menuntut suatu penghargaan khusus atau suatu monopoli status yang khusus. Mereka melakukan atas dasar gaya hidup misal berdasarkan profesi, dasar keturunan, kekuasaan politik ataupun monopoli status.
            Weber menggunakan istilah kelas yakni pembagian dan pemilihan masyarakat berdasarkan ekonomi tetapi ia menolak bahwa [erbedaan kelas dapat menyebabkan terjadinya konflik, seperti halnya yang dikemukakan oleh Karl Marx. Weber tidak menyebutkan masing-masing kelas, Weber hanya menggunakan istlah kelas pekerja dan kapitalis atau kelas meneger. Kelas menurut Weber muncul dalam komoditi dan pasar kerja. Kelas menggambarkan kategori orang yang berbagi Life Chances dan komponen-komponen spesifik yang dapat digunakan untuk meraih life chances.Dalam hal ini Weber mulai menjelaskannya bukan dari ketimpangan yang ada, tetapi ia mulai dari penjelasn tentang power.  Weber mengartikan Power adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mewujudkan kemauannya, meski kemauan atau keinginan itu ada yang tidak setuju. Karena kemauan itu tidak selalu bersifat ekonomi. Dari sini dapat dilihat bahwa kekuasaan tidak selalu dikaitkan dengan kemauan ekonomi bisa jadi kekuasaan itu digunakan untuk membangun life chances dibidang sosial dn budaya, seperti mengejar status sosial.[24]    
3.      Negara Demokrasi
Weber mengatakan bahwa negara demokarsi bukanlah wasit yang netral untuk kepentingan yang bertentangan, juga bukan suatu agen kelas kapitalis yang berkuasa. Negara adalah suatu kekuatan yang penting dalam dirinya, dengan mempunyai kepentingan dan tujuannya sendiri. Tujuan pokok negara yaitu dalam menggunakan kekuasaan dan memperluas ruang kekuasaannya. Negara sering melayani kepentingan kaum kapitalis, tetapi sering pula menentang.[25]

E.  Analisis Perbedaan Pemikiran Karl Marx dan Marx Weber
Bagi Marx kapitalisme merupakan problem modernitas, sedangkan menurut Weber kapitalisme adalah bagian fundamental dari problem itu, dan hanya sebagiannya saja.[26] Marx menganut paradigma fakta sosial sedangkan Weber lebih dikenal dengan penganut paradigma definisi sosial, klasifikasi tersebut merupakan taksonomi yang dibuat oleh Ritzer. Jadi Marx dan Weber adalah para pemikir yang memiliki penganut paradigma dan perspektif yang berbeda. Sedangkan menurut Gibson Burrell dan Goreth Morgan; Marx dikategorikan sebagai penganut paradigma Radikal strukturalis dan Weber sebagai penganut paradigma Interpretative. Dari perbedaan antara keduanya tersebut, maka pemikiran mereka menarik untuk dikontraskan. Melihat pemikirannya Marx dan Weber Collins menilai keduanya saling bersebrangan tetapi sebenarnya pemikiran mereka mempunyai titik temu atau titik singgung. Weber ikut mewarnai sosiologi konflik modern, dalam menjelaskan tentang peran politik dan agama, Weber berada dalam skema atau logika Marx. Sehingga ikut mewarnai tradisi Neo-Marxis. Weber berpendapat bahwa agama dan politik (superstruktur) sebagai penentu perubahan dalam masyarakat kapitalis bukan determinisme ekonomi (substruktur) seperti yang dikemukakan dan diduga oleh Karl Marx.[27]
Marx dan Weber sama-sama memiliki ketertarikan dan menaruk perhatian kepada permasalahan ekonomi politik, akan tetapi dalam karya Weber yang berjudul The General Economic History bertubrukan dengan pemikiran Karl Marx. Pada awal-akhir karyanya tersebut diarahkan pada tema-tema yang diangkat oleh Karl Marx, pada bab I menjelaskan tentang komunisme agama primitive, sebuah kominitas yang acapkali dijadikan sasaran pajak oleh kalangan lapisan atas, dan pada bab terakhir membahas tentang ancaman revolusi kelas pekerja di tengah kapitalisme yang mapan dan disiplin kerja kehilangan legitimasi religiusitas. Sedangkan pada bagian tengah-tengah Weber banyak menggunakan karya Marx untuk dijadikan refrensi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Weber juga mengikuti pemikiran Marx, karena Weber tidak membuang pikiran Marx yang ia akui serta memberkan arah terhadap pemikiran yang ditinggalkan oleh Marx.
Mengenai kajian sejarah Weber lebih beruntung dibandingkan Marx, kajian sejarah akhir abad 19 telah mencapai kematangan; tidak hanya dan militer yang mencapai derajat dan akurasi yang tinggi, tapi juga dalam bidang hukum, agama, dan institisi ekonomi. Tidak hanya di Eropa tapi juga di Mediterania lama, juga di kalangan Timur. Munculnya Weber menjadikan riset sejarah abad 20 tidak lagi tertarik untuk mencermati fakta masa lalu yang secara radikal telah mengubah pandangan sejarah dunia. Weber sebagai tokoh utama yang pertama dalam kajian fakta-fakta institusional penting dari sejarah dunia. Sebaliknya Karl Marx (1840-1850 an) dalam kajian sejarahnya tidak banyak memilki bahan untuk menopang kajiannya. Sejarah India, Cina, Jepang, Islam sulit untuk ia temukan. Persebaran sejarah Romawi dan Yunani kuno oleh institusi keagamaan, baru saja dimulai analisis, sementara peradaban yang lebih kompleks dari Eropa pada abad pertengahan tenggelam dalam “Sampah Feodal” menurut Marx. Produk rezim tua abad 18. Saat itu Marx menulis sebelum kejayaan kajian sejarah. Sedangkan Weber berada pada zaman kejayaan itu, yang sedang pada puncaknya. Menurut Collins, karya-karya Weber merepresentasikan munculnya sebuah karya yang benar-benar dapat memberi analisis komprehensif yang berharga dalam pengembangan sejarah.[28]
Marx dan para penganutnya menaruh perhatian pada dinamika kapitalisme tetapi tidak memperhatikan prakondisi munculnya kapitalisme, maka Weberlah yang melakukan pengamatan secara komprehensif. Oleh karena itu Marx dan Weber sulit untuk saling mengisi.  Marx dan Weber keduanya manaruh perhatian pada ketimpangan mode produksi kapitalisme. Bahwa kapitalisme membutuhkan kebebasan akan tetapi berhadapan dengan kenyataan tenaga kerja yang tidak memiliki kesempatan menguasai sumber-sumber produksi; terjadi persebaran semua faktor produksi di pasar, dilain pihak disertai konsentrasi faktor-faktor produksi itu di tangan pengusaha-pengusaha kapitalis. Marx tidak tertarik pada nilai tambah yang diberika teknologi, melainkan justru tertarik pada tajamnya kekuasaan teknologi sebagai kekuatan perubahan ekonomi.Tidak seperti Weber, Marx tidak memandang pentingnya melakukan kalkulasi hukum, dan bahkan hubungan yang disebut weber lingkaran etika ekonomi, kewarga negaraan, birokratisasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.        
 Titik singgung yang terpenting antara Marx dan Weber adalah pada pembahasan tentang kapitalisme yang melahirkan ketidak adilan. Akan tetapi titik perbedaan pada pembahasan kapitalisme terutam menyangkut masa depan kapitalisme. Marx meyakini bahwa kapitalisme pada hakikatnya menggali lubangnya sendiri. Sebaliknya Weber berkeyakinan bahwa kapitalisme memilki cukup tenaga untuk menampilkan diri sebagai sistem ekonomi, meskipun tidak tertopang oleh situasi politik yang mendukung. Tidak munculnya legitimasi agama pada kapitalisme tingkat lanjut membuka jalan bagi kaum buruh untuk mengekspresikan ketidak puasan nya dalam kerangka gerakan politik sosialisme. Perspektif Weber nampak terdukung oleh fakta sejarah yang menyataka daya tahan kapitalisme yang tangguh melintasi berbagai batas ruang dan waktu. Namun, Marx juga telah menunjukkan bahwa kapitalisme bertahan di atas penderitaan mereka yang tidak beruntung lantaran tidak memiliki dukungan struktural untuk merebut peluang yang sama besar dengan mereka yang memiki sumber-sumber kuasa wibawa dalam masyarakat.[29]     
Weber memandang Marx dan kaum Marxis di masanya sebagai para determinis ekonomi yang mengajukan teori-teori sebab tunggal mengenai kehidupan sosial. Teori Marxian dianggap mengusut semua perkembangan historis pada basis-basis ekonomi dan memandang struktur-struktur yang sezaman didirikan berdasarkan landasan ekonomi. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang membuat Weber tidak setuju adalah pandangan bahwa ide-ide hanyalah pantulan-pantulan dari kepentingan-kepentingan material (ekonomi), bahwa kepentingan-kepentingan material menentukan ideologi. Dari sudut pandang itu Weber telah “menjungkir balikkan Marx” sama seperti Marx ketika menjungkirkan Hegel.[30]
Kesimpulan
Karl Marx dan Marx Weber adalah ilmuan yang tidak lekang oleh waktu karena karyanya selalu menjadi perbincangan yang hangat. Marx dan Weber hidup dalam kondisi realitas sosial yang berbeda, Marx hidup pada zaman Eropa masih terkungkung dalam pengaruh gereja, sedangkan Weber hidup ketika Eropa mengalami masa kebangkitannya, selain itu faktor latar belakang keluarga juga berbeda Marx hidup dalam kemiskinan sampai akhir hidupnya sedangkan Weber termasuk orang yang ada dikelas atas. Posisi semacam itu tentu menjadi faktor terhadap hasil pemikiran mereka. Hal itu dapat dilihat dari cara Marx memandang terbentuknya  sistem kapitalisme selalu dilihat dari satu sudut pandang yakni material (ekonomi), sedangkan Weber memungkiri pandangan Marx dia lebih memandang bahwa kapitalisme tidak hanya disebabkan oleh ekonomi tetapi terdapat faktor lain diluar itu yakni agama. Meskipun Weber dan Marx terkesan memiliki pemikiran yang berbeda, tetapi mereka mempunyai ketersinggungan salah satu contoh; Weber tetap mengakui ide Marx yang memang ia anggap benar selain itu Weber juga menggunakan konsep dalam ilmu sosial seperti halnya Marx.
Daftar Pustaka

Beilharz,Peter Teori-Teori Sosial, trjm Sigit jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah trjm Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1985.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 2005.
Oetoyo, Boedhi dkk, Teori Sosiologi Klasik. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014.
Maliki, Zainuddin. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion ,trjm Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCisoD, 2012.
Ritzer, George Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012.
Sanderson, Stephen K. Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, trjm Farid Wajidi dan S. Menno. Jakarata: Rajawali Press, 2011.
Weber, Max. Sosiologi, trjm Noorkholish dan Tim Penerjemah Promothea. Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2009.



[1]Daniel L Pals, Seven Theories of Religion ,trjm Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCisoD, 2012), hlm. 182.
[2]George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012),hlm. 81.
[3]Boedhi Oetoyo, dkk, Teori Sosiologi Klasik (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014), hlm. 6.4. 
[4]George Ritzer, Teori Sosiologi, hlm. 81.
[5]Daniel L Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 184-186.
[6]Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah trjm Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 187.
[7]George Ritzer, Teori Sosiologi, hlm. 73.
[8]Ibid., hlm. 74.
[9]Ibid., hlm. 77.
[10]Daniel L Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 187.
[11]Stephen K. Sanderson, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, trjm Farid Wajidi dan S. Menno (Jakarata: Rajawali Press, 2011), hlm. 171.
[12]Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2012), hlm.165-166.
[13]Stephen K. Sanderson, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, hlm. 280.
[14]Sephen K. Sanderson, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, hlm. 287.
[15]Ibid., hlm. 336. 
[16]Boedhi Oetoyo, dkk, Teori Sosiologi Klasik. 8.3.
[17]Max Weber, Sosiologi, trjm Noorkholish dan Tim Penerjemah Promothea (Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset, 2009), hlm. 3.
[18]Boedhi Oetoyo, dkk, Teori Sosiologi Klasik, hlm. 8.3-8.4.  
[19]Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 109-110. 
[20]George Ritzer, Teori Sosiologi, hlm. 192-193.
[21]Ibid., hlm. 199.
[22]Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2012),hlm. 274.
[23]Ibid., hlm.275-276.
[24] Ibid., hlm. 277-279.
[25]Sephen K. Sanderson, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, hlm. 336.  
[26]Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, trjm Sigit jatmiko (Ykyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 367.
[27]Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern. hlm.178.
[28]Ibid., hlm. 179-180.
[29]Ibid., hlm. 180-182.
[30]George Ritzer, Teori Sosiologi, hlm. 43.